Pola dan gaya hidup yang seharusnya mengakar pada tradisi gemohing, kini mulai ditinggalkan ketika adagium ada uang abangku sayang tak ada uang abangku melayang, dipakai sebagai basis rutinitas kehidupan.
Generasi muda lamaholot nampak lebih berminat kepada budaya tik tok di media sosial, ketimbang nimbrung dalam alunan musik rebana, sole oha dan ataukah pada lambaian selendang lui e. Alat musik tradisional gambus nampak kurang diminati. Walaupun sesekali di keremangan malam, masih ada lantunan bunyinya di pondok-pondok hunian Podu-Waisesa-Ile Ape, ataukah sesekali masih menderu di balik bebatuan Lohayong-Solor Watan Lema, tapi musik gambus nampak kurang kuat menghadapi gempuran pop rock dan dangdut mania para peminat milenial.
Kebudayaan lamaholot, walaupun menyimpan seribu satu macam kearifan manusiawi tetapi perlahan tinggalkan kaum milenial sebab orang berpikir menurut caranya sendiri, atau memandang yang dahulu-dan yang lama sebagai hal yang primitif dan membosankan.
Ignas Kleden, seorang pemikir politik dan budaya pernah menulis bahwa generasi muda milenial saat ini sering berjibaku dengan pemikiran mereka sendiri. Ada selera dan gaya hidup milienial yang dibangun sebab ada kerinduan untuk mendapatkan pengetahuan, pengalaman dan pemahaman baru. Mereka berupaya mencari cara dan jalan baru di tengah kehidupan masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat generasi muda berupaya untuk mencari jalan-jalan baru, merumuskan pengetahuan baru dan mengupayakan nilai-nilai baru. (cfr. Ignas Kleden, Jejak Filsafat Kontemporer Dalam Politik Indonesia. Jakarta: Freedom Institute, 2003).