Oleh : Silvester Kian Witin, S.Fil
(Staf Pengajar SMAN 1 Larantuka, Orang Lewotobi tinggal di Weri-Larantuka)

Opini, faktahukumntt.com – 25 Februari 2021

Gerakan Literasi atau Literacy action yang akhir-akhir ini selalu dipercakapkan di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah dalam hal ini masyarakat atau komunitas tertentu, merupakan sebuah gerakan bersama yang lahir dari komitmen setiap orang yang sangat peduli terhadap pendidikan, khususnya aktivitas membaca, menulis dan menggunakan pelbagai informasi secara cerdas.

Gerakan Literasi ini sebenarnya berawal dari dicetuskannya Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Mendikbud mengatakan bahwa Permendikbud tersebut sebenarnya adalah sebuah upaya untuk menumbuhkan budi pekerti anak. Terminologi yang digunakan adalah “Penumbuh” karena kita hanya menumbuhkan, bukan menanam budi pekerti”. Menumbuhkan budi pekerti, berbeda maknanya dengan menanamkan budi pekerti. Langsung terbayang yang dilakukan adalah memberikan ruang bagi tumbuhnya budi pekerti dari dalam diri si anak. Kalau menanamkan berarti kita memasukan dari luar diri si anak. Karena pada dasarnya anak-anak itu sudah memiliki modal dasar budi pekerti.

Saya ingat baik di tahun 1991 ketika pertama kali masuk Seminari San Dominggo Hokeng, hal pertama yang mesti dibuat adalah berupaya untuk beradaptasi dengan aturan serta tata tertib yang berlaku di taman pendidikan ini. Ada adagium klasik yang mesti jadi pegangan kami semua yaitu “Serva Regulam et Regula te Servabit” kami harus hidup dan berusaha menyesuaikan diri dengan mengikuti aturan yang berlaku, sehingga aturan itu bisa memelihara kami. Dari bangun pagi hingga tidur malam, semua aktivitas itu sudah dijadwalkan dengan baik. Termasuk di dalamnya waktu untuk kegiatan rohani dan juga aktivitas yang berkaitan dengan studi atau belajar. Aktivitas ini selalu didukung dengan fasilitas dan peralatan yang memadai. Saya hanya mau shering dengan fokus pada aktivitas literasi yang salah satunya adalah budaya membaca. Setiap jam rekreasi atau waktu luang, taman baca dan perpustakaan itu selalu terisi. Orang berebutan mengambil koran serta majalah-majalah penting di taman baca saat itu berupa, Kompas, Pos Kupang dan Flores Pos hanya untuk membacanya dan mencari referensi penting yang ditugaskan oleh para guru. Ruang perpustakaaan juga selalu penuh dengan aktivitas peminjaman buku. Para siswa sibuk dan betul-betul menggunakan waktu yang tersedia untuk actus membaca ini. Kegiatan serta aktivitas membaca ini mengakar dan membudaya lalu menjadi suatu kebiasaan yang terjadi atau tercipta dengan sendirinya. Bangun pagi para seminarista diperbiasakan dengan bacaan rohani wajib.

Sebelum KBM dimulai para seminaris diberi kesempatan untuk membaca dan merenungkan bacaan Kitab Suci. Selalu ada waktu untuk lectio divina (bacaan suci). Aktivitas membaca, menulis, berdiskusi dan berdebat tentang tema apa saja selalu diberi ruang, kapan dan dalam situasi apa saja. Selama KBM dalam kelas, waktu itu, para guru, termasuk para imam dan frater TOP, selalu memberikan kami ruang untuk aktivitas literasi ini. Kami selalu ditugaskan untuk mencari referensi untuk karya tulis ilmiah, dan mengerjakan tugas-tugas lain. Atmosphere serta suasana inilah yang selalu membentuk kami, sehinggga perlahan-lahan menjadikan kami semakin hari semakin cinta akan gerakan literasi, ala seminarista saat itu, bahkan hingga saat ini. Watak, kharakter dan kerinduan serta gerakan cinta kami pada aktivitas ini pun mulai terbentuk.

Tetap Terhubung Dengan Kami:
Laporkan Ikuti Kami Subscribe

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.