Oleh Redaksi FHNC.com

OPINI, FHNC – Dua bocah dari Amfoang Utara, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, kini tidak lagi menginjakkan kaki di sekolah. Bukan karena mereka malas belajar. Bukan pula karena nilai mereka buruk. Mereka hanya korban dari sistem pendidikan yang semakin kehilangan rohnya—keadilan, empati, dan keberpihakan terhadap anak.

LTK (6 tahun) dan NAK (5 tahun), dua siswa Sekolah Dasar Negeri Fatunaus, dikeluarkan dari sekolah oleh Kepala Sekolah Ilfony H. Kapitan. Alasannya? Tidak ada penjelasan akademis, perilaku, atau pelanggaran berat. Yang ada hanyalah satu ‘dosa sosial’: ibu mereka memviralkan foto sejumlah siswa lain yang dipulangkan karena belum membayar uang sekolah saat ujian akhir kenaikan kelas.

Di sekolah negeri yang seharusnya menjadi ruang pembebasan, mereka justru mendapat hukuman sosial yang brutal. Dihukum karena jujur. Dikeluarkan karena ibunya bersuara. Ini adalah pengusiran yang secara hukum bisa disebut diskriminatif, dan secara moral—tak manusiawi.

Pendidikan Harusnya Membebaskan, Bukan Menghukum

Sekolah, dalam cita-cita luhur Ki Hadjar Dewantara, adalah tempat yang membebaskan anak dari kebodohan dan ketidakadilan. Tapi dalam realitas banyak wilayah tertinggal seperti Amfoang, sekolah justru menjadi alat penekan yang tak kalah otoriternya dari penguasa yang gagal paham.

Tetap Terhubung Dengan Kami:
Laporkan Ikuti Kami Subscribe

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.