Kupang, FHC – Serah terima kepengurusan WALHI Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 2025–2029, Senin (28/10) di Kupang, berubah menjadi forum peringatan dini atas ancaman gelombang baru ekspansi ekonomi ekstraktif di Indonesia dan di kawasan Timur. Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Boy Jery Even Sembiring, dalam sambutannya secara daring, menyebut empat tahun ke depan sebagai periode “benturan besar” antara agenda pertumbuhan ekonomi 8% versi pemerintah dengan keselamatan ruang hidup rakyat, pesisir, dan ekosistem rentan.
Boy memulai dengan ucapan terima kasih kepada pengurus periode 2021–2025 dan selamat kepada kepengurusan baru. Namun, nada resmi itu segera bergeser menjadi alarm taktis. “Pemerintahan hari ini mematok target pertumbuhan ekonomi nasional 8%. Target ini bukan angka kosong. Konsekuensinya adalah dorongan konsumsi besar-besaran, percepatan investasi, dan biasanya itu dibayar dengan mengorbankan rakyat dan lingkungan,” tegas Boy.
Menurut Boy, dalam empat tahun terakhir WALHI NTT telah mengisi ruang advokasi strategis: di sawah–ladang (agraria), di pesisir dan laut (reklamasi, konservasi, perikanan), di energi (geotermal, PLTU, transisi energi), serta isu-isu sosial ekologis lainnya. Namun periode ke depan akan jauh lebih kompleks karena proyek-proyek raksasa negara dan swasta memasuki fase eskalasi, bukan sekadar wacana.
Tetap Terhubung Dengan Kami:
Laporkan
Ikuti Kami
Subscribe
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
