“Sosok Nahkoda tangguh itu tidak lahir di laut yang tenang, tapi lahir di laut yang penuh dengan ombak dan badai“.

KOTA KUPANG, faktahukumntt.com – 29 September 2022

Penyair tua angkatan Balai Pustaka, Sutan Takhdir Alisjahbana atau yang lebih dikenal dengan STA mengungkapkan sepenggal kalimat menarik dalam sajak terkenalnya berjudul:”Menuju ke Laut”, sebagai berikut: kami telah meninggalkan engkau, tasik yang tenang, tiada bergelombang.[1] Metafor tasik yang tenang diinterpretasi oleh banyak kritikus sebagai representasi dari generasi intelektual masa lalu yang adem ayem dan teduh, tanpa ada amukan badai kehidupan.

STA mau melukiskan bahwa pesona dunia kini telah membuat masyarakat dan pemikir kita bangun dari tidur nyenyak. Untuk metafor yang sama Goenawan Mohamad menafsirkannya sebagai sebuah upaya peralihan[2]. Kondisi ini adalah akhir abad 20 di mana tasik yang tenang sudah tidak lagi nampak di pelupuk mata kita. Kita telah berada di laut yang penuh dengan gelombang dan amukan badai yang tak berkesudahan. Ini adalah nuklear perubahan, peralihan, dan temporalisasi dari ruang tradisional ke ruang digitalisasi.

Malaka merupakan sebuah locus yang tengah bergerak dan masuk menjadi bagian penting dari pusaran arus perputaran dan evolusi abad ini. Kita tidak lagi bergerak dalam ketenangan, kedamaian, dan kejayaan tradisional tasik masa lampau dengan sekian banyak memori dan impresi yang kita banggakan dari generasi ke generasi. Kondisi kekinian kita telah menuntun tanah ini untuk masuk ke pinggiran dan bahkan sampai di tenggah pusaran arus lautan kehidupan yang kian mengganas. Globalisasi yang secara luas merambah berbagai bidang kehidupan telah menyandera kita dengan sekian banyak tuntutan sosial yang mesti diikuti agar kita bisa menari pada sketsa zaman ini.Bupati Malaka

Kondisi tersebut di atas mengharuskan Malaka secara alamiah memiliki tokoh atau pemimpin yang mesti paham akan perkembangan kosmologis dan sosiologis wilayah secara holistik dan komprehensif. Kondisi ini menjadi keharusan atau conditio sine qua non, sebab antara tantangan alam, digitalisasi dan kebutuhan sosial yang berjalan seiring dan memaksa setiap insan untuk menjejakinya secara taat.

Singkatnya Malaka membutuhkan seorang pemimpin yang visioner dan berjiwa besar, memiliki integritas diri, moral, dan intelektual yang memadai serta benar paham akan kondisi kekinian kita sehingga boleh berkembang sesuai dengan local wisdom. Malaka butuh seorang tokoh yang mempunyai energi maskulin agar bisa menjinakkan seluruh kebekuan primordial yang menghambat kemajuan dan akselerasi sosial – ekonomi wilayah ini.

Simon Nahak dalam seluruh perwujudan dirinya sebagai pemimpin Malaka telah menjalankan perannya lebih dari sekedar pemimpin politis. Ia justru hadir dalam banyak dimensi kehidupan yang memberi arti mendalam bagi kelangsungan rakyat di daerah ini. Kualitas pribadinya yang humanis, cerdas, adil dan dialektis serta beretika menjadikannya sebagai tokoh yang takkan pernah habis dibahas oleh kata dan tak pernah usai dijelaskan oleh bahasa.

Simon Nahak dalam perjuangan dan kariernya sebagai pemimpin daerah ini telah berusaha untuk menjadi pribadi ideal bagi kepentingan semua orang, semua suku, bangsa, ras, golongan dan agama yang ada di Malaka.

Kehadiran Simon Nahak dalam pentas pemimpin Kabupaten Malaka telah mengakhiri krisis demokrasi di daerah ini yang selalu dicederai oleh virus primordialisme dan heterophobia.

Sejak semula Ia memimpin daerah ini, dalam setiap perjumpaannya dengan masyarakat, Simon Nahak selalu menggaungkan persaudaraan sejati, tanpa membeda-bedakan. Perbedaan politik sudah selesai, biarkan perbedaan itu hanyut bersama banjir di Kali Benanai.

Simon Nahak mampu menahkodai kapal besar pemda Malaka untuk melewati serangkaian hempasan gelombang pasang dan hantaman badai birokrasi dari sebagian besar ASN yang tidak memilih dirinya saat pemilihan kepala daerah dan berhasil menjadi simbol utama dari hadirnya sebuah demokrasi yang berbasis pada kepentingan seluruh rakyat Malaka.

Dalam kaitan dengan itu, visi dan misi politiknya telah meretas batas dan menjadi energi yang hadir untuk mengakhiri utopia narasi pembangunan yang erat berpegang pada pola tunggal top down. Dan dalam bahasa yang sederhana ia telah mengubah kerumitan birokrasi dalam bentuk yang sederhana dan menjalankan peran public service secara otentik demi kebaikan bersama (bonum commune).

Akhirnya, terlepas dari sekian banyak kerapuhan manusiawi yang ada di dalam diri seorang Simon Nahak, padanya masih terpatri sebuah lilin harapan yang terus menyala dari seluruh masyarakat Malaka. Ia masih menjadi harapan bagi dieliminasinya fatamorgana hukum dan ilusi kebenaran dalam berbagai elemen birokrasi. Ia masih menjadi simbol harapan bagi lahirnya demokrasi baru yang bebas dari anarki dan virus primordialisme.

Ia masih juga menjadi sosok pemimpin yang cerdas menanggapi segala tuntutan rasional masyarakat Malaka untuk mengatasi berbagai persoalan krusial dalam bidang pendidikan, ekonomi, pariwisata, pertanian-peternakan, kesehatan dan infrastruktur. Ia tidak menjadi figur yang tinggal pada menara gading kekuasaan, melainkan menjadi tokoh yang mengedepankan citra real ketimbang diri virtual yang dikondisikan oleh media.

Ia lebih menjadi seorang pejuang yang terus bekerja bagi kemakmuran daerah Malaka tanpa memikirkan pamor, upah dan pamrih pribadi. Ia pada akhirnya menjadi sosok nahkoda tangguh yang membawa Malaka menuju ke pulau idaman, pulau kesejahteraan. ***                                                                                                                      Catatan:                                                                                                                                      [1] Goenawan Mohamad. 2005. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. (Pustaka Alvabeth: Jakarta). hlm. 252.                                                                                                                      [2] Ibid. hlm. 253.                                                                                                                           primodialisme ialah: Berwujud sebagai identitas kelompok, Konsekuensi dari adanya masyarakat multicultural, Lahir sikap untuk mempertahankan  keutuhan kelompok, Memicu permusuhan di kalangan masyarakat, Nilai-nilai yang berkaitan dengan sistem keyakinan kelompok, Cita-cita yang sama dalam satu tujuan kelompok.                                Heterofobia diartikan sebagai ketakutan akan yang berbeda atau yang lain (lyan) yang melahirkan kebencian dan penolakkan terhadap mereka                                                                                                        

Tetap Terhubung Dengan Kami:
Laporkan Ikuti Kami Subscribe

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.