Fakta di lapangan semakin memperburuk citra proyek: rumah yang dijanjikan untuk pengungsi, justru dihuni warga dari daerah lain, sebagian terbengkalai, bahkan ada yang dijual secara ilegal.
“Kebijakan negara soal pengungsi, maka negara juga yang harus siapkan anggaran untuk pembebasan tanah. Jangan pakai tanah orang miskin untuk bangun rumah bagi orang susah,” tegas Ayub, memperkuat prinsip keadilan sosial yang selama ini ia perjuangkan.
Peringatan untuk Proyek 2.100 Rumah
Kini, dengan rencana besar pembangunan 2.100 unit rumah baru, Ayub menyampaikan kekhawatiran bahwa sejarah kelam Rumah 280 bisa kembali terulang jika pemerintah abai terhadap dasar hukum, kejelasan status lahan, dan kepentingan masyarakat lokal.
Ia mendorong agar pemerintah pusat benar-benar turun tangan dalam pembebasan lahan, tidak sekadar melepas tanggung jawab kepada daerah. Ia juga meminta transparansi dalam penunjukan pelaksana proyek serta pengawasan ketat dari aparat hukum dan media.
Jangan Bangun Rumah di Atas Ketidakadilan
Skandal Rumah 280 bukan sekadar soal fisik bangunan, tetapi simbol gagalnya tata kelola proyek sosial, lemahnya pengawasan, dan pengabaian terhadap suara warga kecil. Ayub menekankan bahwa pembangunan perumahan bukan hanya soal kuantitas, tapi keadilan.
Tetap Terhubung Dengan Kami:



CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.