Bupati Kupang ( 2009–2018), Ayub Titu Eki, memperingatkan pemerintah agar skandal Rumah 280 di Tolnaku tidak terulang dalam proyek pembangunan 2.100 rumah. Legalitas tanah dan keadilan sosial harus dijaga.

FaktahukumNTT.com, Kupang – Warisan pahit dari proyek pembangunan Rumah 280 di Tolnaku, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang, masih menyisakan luka sosial dan hukum yang belum pulih. Mantan Bupati Kupang, Ayub Titu Eki, kini angkat suara dan memberikan peringatan keras pada proyek pembangunan 2.100 rumah untuk warga yang membutuhkan.

“Jangan ulangi kesalahan di Rumah 280. Itu jadi pelajaran besar—jangan abaikan legalitas tanah dan hak masyarakat lokal,” tegas Ayub dalam pernyataan resminya.

Pada masa kepemimpinannya, Ayub dengan tegas menolak menandatangani proyek Rumah 280 karena status tanah yang digunakan tidak jelas. Tanah tersebut milik masyarakat miskin lokal yang tidak dibebaskan secara sah, namun digunakan untuk membangun rumah bagi pengungsi eks Timor Timur. Proyek itu tetap dilanjutkan oleh pejabat lain di Pemkab Kupang—dan berujung pada hukuman penjara bagi yang terlibat.

Fakta di lapangan semakin memperburuk citra proyek: rumah yang dijanjikan untuk pengungsi, justru dihuni warga dari daerah lain, sebagian terbengkalai, bahkan ada yang dijual secara ilegal.

“Kebijakan negara soal pengungsi, maka negara juga yang harus siapkan anggaran untuk pembebasan tanah. Jangan pakai tanah orang miskin untuk bangun rumah bagi orang susah,” tegas Ayub, memperkuat prinsip keadilan sosial yang selama ini ia perjuangkan.

Peringatan untuk Proyek 2.100 Rumah

Kini, dengan rencana besar pembangunan 2.100 unit rumah baru, Ayub menyampaikan kekhawatiran bahwa sejarah kelam Rumah 280 bisa kembali terulang jika pemerintah abai terhadap dasar hukum, kejelasan status lahan, dan kepentingan masyarakat lokal.

Ia mendorong agar pemerintah pusat benar-benar turun tangan dalam pembebasan lahan, tidak sekadar melepas tanggung jawab kepada daerah. Ia juga meminta transparansi dalam penunjukan pelaksana proyek serta pengawasan ketat dari aparat hukum dan media.

Jangan Bangun Rumah di Atas Ketidakadilan

Skandal Rumah 280 bukan sekadar soal fisik bangunan, tetapi simbol gagalnya tata kelola proyek sosial, lemahnya pengawasan, dan pengabaian terhadap suara warga kecil. Ayub menekankan bahwa pembangunan perumahan bukan hanya soal kuantitas, tapi keadilan.

“Kalau mau bantu orang susah, jangan rugikan orang lebih susah. Pemerintah harus adil,” pungkas Ayub.

Warisan pahit Rumah 280 harus menjadi alarm keras bagi pemerintah hari ini. Pembangunan 2.100 rumah harus dilandasi dengan integritas, legalitas, dan kemanusiaan—agar rumah tak lagi menjadi skandal, tapi harapan.

Tetap Terhubung Dengan Kami:
Laporkan Ikuti Kami Subscribe

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.