FaktahukumNTT.com, Sikka – Ironi hukum tengah terjadi di Kabupaten Sikka. Herlindis Donata Darato, Wakil Ketua DPRD Sikka, justru dilaporkan ke polisi setelah menjadi korban transaksi lahan bermasalah.

Pengusaha lokal, Liauw Petrus Andrianto Asaleo, melaporkan Herlindis ke Polres Sikka atas dugaan penyerobotan, pengrusakan, dan penipuan terkait jual beli tanah di Belang, Kelurahan Hewuli, Kecamatan Alok Barat.

Laporan ini dinilai oleh kuasa hukum Herlindis, Alfons Ase, SH., MH., sebagai bentuk manipulasi hukum yang mengabaikan fakta. “Laporan ini cacat hukum. Klien kami adalah korban. Ia sudah membayar Rp250 juta untuk lahan yang ternyata masuk kawasan resapan air yang tidak bisa dimanfaatkan secara hukum,” tegasnya.

Transaksi berawal tahun 2021, saat Kristin Lomi—anak mantu pelapor yang juga anggota DPRD—meminta bantuan Herlindis membeli tanah milik mertuanya. Karena rasa percaya dan kedekatan sesama anggota DPRD, Herlindis menyanggupi dan mentransfer Rp250 juta, separuh dari nilai jual yang disepakati sebesar Rp500 juta, bahkan tanpa sempat meninjau fisik lahan.

Permasalahan muncul saat pengukuran ulang dilakukan tahun 2022, yang melibatkan pihak kecamatan, kelurahan, BPN, dan Dinas Lingkungan Hidup. Fakta mengejutkan pun terungkap: tanah tersebut adalah kawasan resapan air, yang tidak boleh dibangun atau dimanfaatkan, sesuai ketentuan tata ruang pemerintah.

Merasa tertipu, Herlindis secara resmi membatalkan transaksi dan menuntut pengembalian dana panjar. Namun, pihak pelapor tak menunjukkan itikad baik, bahkan menghilang setelah diminta mengembalikan uang.

Ironisnya, tahun 2025 pelapor kembali muncul dan meminta Herlindis mencarikan pembeli baru untuk tanah tersebut. “Lucu sekali, setelah menghilang, pelapor malah datang minta bantuan jual tanah, padahal uang klien kami belum dikembalikan. Saat ditolak, justru malah melapor polisi. Ini upaya pembalikan fakta,” ujar Alfons.

Laporan ke Polres Sikka tersebut kini akan dijadikan alat bukti balik oleh tim hukum Herlindis untuk menempuh jalur hukum secara perdata maupun pidana. Mereka menegaskan bahwa tindakan kliennya tidak berkaitan dengan jabatannya sebagai pejabat publik, melainkan persoalan keperdataan murni.

Kasus ini membuka ruang diskusi lebih luas soal praktik transaksi tanah yang melibatkan lahan konservasi, potensi penipuan bermodus jual beli properti, dan potensi penyalahgunaan hukum untuk menekan pihak lain.