FaktahukumNTT.com, Jakarta, 30 April 2025 – Ketegangan memuncak di Kompleks Parlemen Senayan ketika Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, harus menghadapi kritik tajam dari sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di sejumlah rumah sakit.

Dalam rapat kerja Komisi IX DPR, anggota dewan Irma Suryani Chaniago melontarkan interupsi keras saat Menkes memberikan penjelasan terkait peran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam kasus tersebut. Ia menuntut kejelasan soal siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas tindakan asusila di lingkungan rumah sakit.

“Kalau ini kejadiannya di rumah sakit, tanggung jawab siapa, Pak? Ini penting supaya tidak ada yang lempar-lemparan!” tegas Irma di ruang sidang, Selasa (29/4).

Budi Gunadi tidak menampik bahwa selama ini Kemenkes memang cenderung melepas kasus-kasus tersebut karena menganggapnya berada di bawah wewenang Kementerian Pendidikan, Riset dan Teknologi (Kemendikti Saintek).

“Selama ini kita lepas. Salahnya Kemenkes, karena merasa itu di luar wilayah kita dan kalau kita pegang juga sensitif,” ujar Budi.

Namun, lanjut Budi, setelah laporan demi laporan berdatangan dari berbagai daerah, pihaknya mulai menyadari bahwa membiarkan masalah ini hanya akan menimbulkan kerusakan yang lebih luas, terutama karena sebagian besar rumah sakit tempat PPDS menjalani pendidikan adalah milik Kemenkes.

“Kalau dokter PPDS melakukan kesalahan di RS Hasan Sadikin, rumah sakitnya Kemenkes, ya yang disorot tetap kita, bukan FK atau Kemendikti,” paparnya.

Budi mengklaim kini pihaknya mulai mengambil alih peran lebih besar dalam proses pengawasan dan pembenahan sistem pendidikan dokter spesialis. Ia mengaku telah berdialog dengan Kemendikti Saintek untuk memperjelas koordinasi lintas lembaga, agar tidak ada lagi kebingungan soal siapa yang bertanggung jawab ketika pelanggaran terjadi.

“Kita harus pegang kontrol lebih karena ini menyangkut pasien dan nama baik pelayanan kesehatan nasional,” tambahnya.

Ia menutup dengan pernyataan yang mencerminkan tanggung jawab moral:

“Sebagai menteri, tugas saya melayani masyarakat. Ngapain kita ribut bagian siapa, yang penting masyarakat jangan dirugikan dan jangan ada kejadian ngaco lagi kayak begini.”

Respons Publik dan Tantangan Reformasi

Pengakuan Menkes ini memicu reaksi publik yang mempertanyakan mengapa Kemenkes baru bertindak setelah tekanan eksternal datang. Beberapa pengamat menilai pernyataan “kami lepas” adalah bentuk kelalaian yang bisa memperparah krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi kesehatan.

Pakar kebijakan kesehatan dari Universitas Indonesia, dr. Lintang Wulandari, menilai koordinasi antarlembaga dalam sistem pendidikan dokter memang masih lemah. “Selama ini rumah sakit digunakan untuk pendidikan, tapi tanggung jawabnya dilempar-lempar. Itu rawan menimbulkan celah penyalahgunaan kekuasaan,” ujarnya.

Kasus ini menjadi momentum penting untuk merombak ulang tata kelola pendidikan dokter spesialis di Indonesia, yang selama ini berada di antara dua kutub: pendidikan dan pelayanan kesehatan. DPR sendiri telah meminta Kemenkes dan Kemendikti segera menyusun protokol tanggung jawab yang jelas, agar perlindungan pasien dan peserta didik bisa berjalan seimbang.