FaktahukumNTT.com, Kupang Timur – Di bawah langit biru yang bersih dan semilir angin dari Bendungan Leter-T, tangkai-tangkai padi yang menguning menjadi saksi bisu dari kerja keras dan harapan panjang para petani kelurahan Babau Kecamatan Kupang Timur Kabupaten Kupang Provinsi NTT.
Hari ini, bukan hanya panen yang dipetik, tetapi juga rasa haru yang mendalam ketika Wakil Bupati Kupang, Aurum Obe Titu Eki, hadir menyatu bersama para petani Babau.
Tak ada karpet merah. Tak ada protokol yang kaku. Yang tampak hanyalah seorang perempuan pemimpin, duduk dan berdiri di teriknya mentari, berbagi singkong rebus dengan para ibu petani yang wajahnya digurat lelah, namun senyum mereka tulus menyambut. Di tengah gurauan ringan, tawa pecah—bukan karena basa-basi, melainkan karena perasaan dihargai, didengarkan, dan diakui.
Para petani yang hadir, momen itu lebih dari sekadar seremoni. “Beta pung tangan ini luka karena sabit. Tapi hati beta hari ini senang sekali. Ibu Wakil Bupati datang duduk sama-sama, itu tidak biasa. Kami rasa dihargai,” ucapnya, dengan senyum tulus berujung mata yang berkaca-kaca.
Panen raya tahun ini bukan yang pertama, tapi menjadi yang paling berarti. Bukan karena hasilnya lebih melimpah, melainkan karena ada pemimpin yang datang tidak sekadar melihat, tetapi merasakan. Aurum tidak hanya berjalan di pematang sawah, ia berjalan masuk ke ruang batin para petani—ruang yang selama ini kerap terabaikan oleh para pengambil kebijakan.
Aurum, putri dari mantan Bupati Kupang Ayub Titu Eki, membawa warisan nilai yang hidup: kepemimpinan yang merakyat dan membumi. “Kami tidak butuh banyak janji, tapi kalau ada yang mau duduk dan dengar kami punya susah, itu sudah cukup kuatkan semangat kerja kami,” lanjut seorang petani paruh baya yang enggan menyebutkan namanya, biarkan momen kebersamaan ini menjadi bukti kedekatan ibu Wakil dengan kami para petani.
Di tengah ancaman gagal panen, cuaca yang tidak menentu, dan harga pupuk yang terus melambung, kehadiran seorang pemimpin secara fisik dan emosional adalah bentuk keberpihakan yang nyata. Ia tidak harus membawa bantuan bertumpuk untuk menyentuh hati petani—cukup hadir dengan ketulusan, dan itu sudah menjadi hadiah.
Panen raya di Babau hari ini terasa seperti pesta kecil yang menghidupkan kembali semangat gotong royong. Suasana penuh syukur, diselingi cerita, tawa, dan harapan yang menari di antara gulungan jerami.
Dalam diam, banyak petani berdoa agar pemimpin seperti Aurum tidak menjadi langka. Karena mereka tahu, pertanian bukan hanya soal produksi, tetapi soal kehidupan. Dan kehidupan, hanya bisa tumbuh subur jika dipupuk dengan empati.
Di akhir kegiatan, seorang petani tua berbisik pelan kepada awak media, “Wakil Bupati ini datang bukan dengan kata-kata, tapi dengan hati. Itu yang kami butuh.”
Hari ini, padi dipanen. Tapi yang tumbuh subur adalah harapan—harapan bahwa negeri ini masih bisa punya pemimpin yang mau kotor kaki, hanya untuk berjalan bersama mereka yang memijak lumpur setiap hari.