Panen raya tahun ini bukan yang pertama, tapi menjadi yang paling berarti. Bukan karena hasilnya lebih melimpah, melainkan karena ada pemimpin yang datang tidak sekadar melihat, tetapi merasakan. Aurum tidak hanya berjalan di pematang sawah, ia berjalan masuk ke ruang batin para petani—ruang yang selama ini kerap terabaikan oleh para pengambil kebijakan.
Aurum, putri dari mantan Bupati Kupang Ayub Titu Eki, membawa warisan nilai yang hidup: kepemimpinan yang merakyat dan membumi. “Kami tidak butuh banyak janji, tapi kalau ada yang mau duduk dan dengar kami punya susah, itu sudah cukup kuatkan semangat kerja kami,” lanjut seorang petani paruh baya yang enggan menyebutkan namanya, biarkan momen kebersamaan ini menjadi bukti kedekatan ibu Wakil dengan kami para petani.
Di tengah ancaman gagal panen, cuaca yang tidak menentu, dan harga pupuk yang terus melambung, kehadiran seorang pemimpin secara fisik dan emosional adalah bentuk keberpihakan yang nyata. Ia tidak harus membawa bantuan bertumpuk untuk menyentuh hati petani—cukup hadir dengan ketulusan, dan itu sudah menjadi hadiah.