Kapolres (Diduga) Perusak?

Penulis terkaget-kaget membaca postingan percakan Kapolres Nagekeo AKBP Yudha Pranata yang berinisiatif membentuk grup WhatsApp Kaisar Hitam (KH) “Destroyer” yang beranggotakan Polres Nagekeo dan sejumlah wartawan yang bekerja di Nagekeo. “Destroyer” merupakan kata Bahasa Inggris yang berarti perusak yang merupakan turunan dari kata “destroy” yaitu menghancurkan. Kapolres Yudha mengakui pembentukan grup tersebut dan kehadiran lima wartawan. Kita sebut saja nama medianya agar seluruh rakyat Nagekeo tahu orang-orang ini sehingga tidak begitu percaya pada debur suara mereka. Nusantarapedia.net; Laskarmedia.com; Sergap.id; Mindonews.co.id; dan Victorynews.id. Wajah-wajah pekerja media ini bisa cari di Polres Nagekeo atau gabung dalam grup WhatsApp “KH Destroyer.” Nama “Kaisar Hitam Destroyer” sangat menyeramkan seseram nama media Laskar, Sergap dan lain-lain. Nama-nama ini mengingatkan kembali masa kelam kasus penculikan aktivis dan mahasiswa tahun 1998.

Kapolres Yudha membentuk grup ini saja sudah menghadirkan perpecahan di Nagekeo khususnya di kalangan pekerja media. Orang ini berhasrat memegang kendali guliran informasi di seantero Nagekeo. Kapolres Yudha diduga salah tempat di Nagekeo saat ini. Kita mesti ingatkan orang ini agar jangan berpikir bahwa Nagekeo itu hutan rimba yang bisa dikendalikan oleh sebuah jabatan momental. Membentuk grup dengan anggota jurnalis berarti Kapolres Yudha dengan kesadaran penuh menabur benih-benih konflik dan perpecahan yang tidak hanya sebatas di kalangan jurnalis tapi seluruh elemen rakyat Nagekeo. Rakyat Nagekeo bisa membaca mutu dan kualitas Kapolres Nagekeo yang kehadiran, ulah dan perilakunya justru bertentangan dengan semangat Kapolri Sigit yang mengidealkan polisi manusiawi, humanis dan bersahabat dengan rakyat. Kapolres Yudha rupanya tidak ikuti perkembangan sehingga perilakunya seolah berada di tengah hutan rimba.

Kapolres Yudah dalam wawancara video mengatakan bahwa grup itu dimaksudkan untuk pembinaan terhadap wartawan. Kita harus ingatkan orang ini agar kembali menjadi representasi negara yang waras di bumi Nagekeo. Pembinaan jurnalis itu tanggung jawab Dewan Pers, organisasi jurnalis dan redaksi media. Apakah Yudha ini Pemred “Destroyer?” Memangnya Kapolres Yudha itu Ketua Dewan Pers “KH Destroyer” ala Nagekeo ya? Lebih aneh lagi ada jurnalis yang merelakan dirinya ibarat domba yang diantar ke arena pembantaian. Apa yang menggerakkan lima jurnalis ini menjadikan dirinya kuda tunggangan “destroyer” Kapolres Yudha? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh rakyat Nagekeo.

Semua hal di atas berbasis pada percakapan dalam grup tersebut yang menarasikan rencana jahat untuk mengkriminalisasi bahkan melenyapkan nyawa wartawan Tribun Flores, Patrick Jawa. Perilaku buruk Kapolres Yudha tidak bisa ditoleransi lagi dengan argumen apapun. Ungkapan buruk dalam grup terbukti benderang: “bikin dia stress baru buat catatan kaki, patahkan rahang, nanti saya urus dia, atur dulu, urusan belakangan, coba cara baik-baik dulu, kalau gak baru dijadikan sampah, sampah mending dibuang baru dimusnahkan, pengkhianat harus disingkirkan, dilenyapkan dari muka bumi sesuai dengan amanat UUD.”

Narasi-narasi banal sarat kekerasan ini tidak pantas dibuat oleh pemimpin Nagekeo selevel Kapolres Yudha Pranata dan rekan-rekan jurnalis yang diduga telah diracuni benih kekerasan Kaisar Hitam. Publik patut menduga kuat bahwa Kapolres Nagekeo AKBP Yudha Pranata telah menghadirkan konflik dan perpecahan di Kabupaten Nagekeo. Melalui grup dengan nama sangat buruk itu ia merawat benih-benih kekerasan dan merencanakan sebuah kejahatan kemanusiaan: melenyakan nyawa seorang jurnalis. Grup medsos itu merupakan cara paling sadis Kapolres Yudha merepresi kebebasan pers dan kemerdekaan bersuara menyampaikan kebenaran di Kabupaten Nagekeo. Publik menduga, Kapolres Yudha tidak netral lagi sehingga pikiran, pernyataan dam langkah dalam proses hukum Polres Nagekeo di bawah kepemimpinannya sangat pantas untuk tidak dipercayai publik. Kasus Pasar Danga saja sangat kontroversial dan pengalihan proses hukum kasus ini ke Polda NTT membuktikan bahwa Yudha Pranata ini tidak mampu menegakkan hukum berbasis data, fakta dan kebenaran. Konferensi pers yang dilakukan pun sangat eksklusif, hanya dihadiri wartawan karbitan satu grup dengan Kapolres. Kualitas jurnalisme pun awut-awutan dengan desain pertanyaan sangat tidak berbobot. Kerja jurnalis serabutan model ini bagaimana bisa mencerdaskan pikiran dan mencerahkan kesadaran rakyat?

Tetap Terhubung Dengan Kami:
Laporkan Ikuti Kami Subscribe

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.