FAKTAHUKUMNTT.COM, KUPANG – Dalam upaya memastikan keadilan terwujud dalam penegakan hukum, peran Justice Collaborator semakin terasa penting.

Mereka menjadi ujung tombak dalam membongkar kasus-kasus tindak pidana dengan mengungkap keterlibatan pelaku demi mencapai keadilan yang sejati.

Justice Collaborator, yang didefinisikan sebagai individu yang turut serta dalam proses penyidikan atau penuntutan suatu tindak pidana, memberikan kontribusi substansial dengan membagikan informasi dan pengetahuan yang dimilikinya.

Keterlibatan mereka menjadi kunci penyelidikan dalam mengurai benang kusut suatu kejahatan.

Perbedaan Justice Collaborator dan Whistle Blower

Penyelidikan suatu kasus tindak pidana memerlukan bantuan dari berbagai pihak, tidak terkecuali bantuan dari sisi pelaku.

Bagi pelaku yang ingin membantu proses penyelidikan disebut dengan Justice Collaborator.

Justice Collaborator adalah orang yang bekerja sama secara substansial dalam proses penyelidikan atau penuntutan kasus tindak pidana. Justice Collaborator dapat berperan sebagai saksi dari sisi pelaku yang turut berkontribusi dalam suatu tindak pidana.

Sebelumnya, Justice Collaborator diperoleh dari Konvensi PBB Anti Korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003 dalam pasal 37 ayat 3. Konvensi tersebut juga sudah disahkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2006.

Dari hukum di Indonesia, Justice Collaborator juga sudah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain sebagai berikut:

– Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
– Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban
– Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, dan KPK
– LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerja sama
– Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011

Berbeda dengan Whistle Blower

Justice Collaborator memiliki perbedaan dengan Whistle Blower. Meskipun sama-sama membantu proses penyidikan, perbedaan keduanya terdapat pada posisi saksi atau orang yang melapor.

Dilansir dari detikNews, Mantan Hakim Agung Artidjo Alkotsar menyebutkan perbedaan Justice Collaborator dengan Whistle Blower dalam Lokakarya “Sistem Peradilan, Istilah Hukum, Justice Collaborator” di Hotel Novotel Bogor, Jawa Barat, Minggu (17/3/2022).

Menurut Artidjo, Justice Collaborator merupakan orang yang terlibat dalam kesalahan suatu tindak pidana dan bersedia untuk mengungkap tindak pidana tersebut. Sementara Whistle Blower merupakan orang yang mengungkap suatu kasus, tapi tidak terlibat langsung dalam kasus tersebut.

Pelaku tindak pidana untuk menjadi Justice Collaborator harus mendapat izin dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Pelaku yang menjadi Justice Collaborator juga memiliki peluang untuk mendapatkan keringanan hukum karena berkontribusi untuk mengungkap kejahatan. Meskipun begitu, pihak yang berwenang memberi keringanan hukum adalah jaksa.

Tetap Terhubung Dengan Kami:
Laporkan Ikuti Kami Subscribe

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.